Inflasi Tersembunyi di Tengah Jalan: Kenaikan Harga BBM Juli 2025
Oleh:
Muhammad Naufal Ridho
Jakarta—Sejak
1 Juli 2025, petugas SPBU hanya bicara satu kalimat yang sama: “Pertamax kini
Rp12.500 per liter, naik Rp400 dari Juni.” Bensin yang dulu cukup untuk sebulan
kini menggerus kantong tiap akhir pekan. Alih-alih sekadar angka di layar pom,
kenaikan itu menciptakan domino efek: ongkos ojol naik, warung sebelah tambah
markup, dan mereka yang di pinggir jalan—supir angkot, petani sayur, juru
parkir—berjalan di atas ketahanan ekonomi yang sangat rapuh.
Fenomena
ini lebih dalam dari sekadar kebijakan harga. Ia mengungkap luka struktural
dalam sistem perlindungan sosial dan ekonomi mikro Indonesia.
Pertama,
daya beli masyarakat terus melemah. Ekonomi triwulan I tumbuh hanya 4,87 %, dan
triwulan II sulit naik tanpa konsumsi rumah tangga yang kuat. Kenaikan BBM
justru memukul tulang punggung konsumsi tersebut.
Kedua,
rantai pasokan mengalami tekanan. Transportasi makin mahal, memicu inflasi
barang pokok. Inflasi transportasi menjadi penyumbang utama lonjakan harga
bulan Juli ini. Petani harus menjual lebih mahal, pedagang menanggung ongkos
logistik lebih besar, dan konsumen akhir menjadi korban paling sunyi.
Ketiga,
bantuan sosial belum menjangkau yang paling terdampak. Pemerintah memang
menahan tarif listrik dan memberi BSU kepada tenaga kerja formal, tapi sopir
angkot, nelayan, dan pedagang kecil tetap menanggung beban sendiri. Ini
menciptakan jurang kesenjangan yang makin dalam.
Keempat,
ruang kota makin menindas yang lemah. Kenaikan BBM adalah harga yang dibayar
rakyat agar fungsi kota tetap berjalan. Tapi ketika tiada kompensasi dari
pemerintah daerah atau pusat, maka ini bukan kebijakan fiskal—melainkan
pengabaian struktural.
Lalu, apa
yang bisa dilakukan?
Pertama,
subsidi tepat sasaran harus segera diterapkan. Voucher BBM digital bagi UMKM,
ojol, dan sektor informal bisa menjaga daya tahan ekonomi bawah.
Kedua,
reformasi transportasi publik menjadi kebutuhan mendesak. Diskon tarif saat
harga BBM naik dapat menjadi penyangga mobilitas rakyat pekerja.
Ketiga,
rantai logistik harus dipantau. Pemerintah harus mencegah markup berlapis: dari
produsen ke distributor hingga konsumen.
Keempat,
komunikasi harga harus jujur. Pemerintah harus membuka formula harga,
menjelaskan fluktuasi mingguan, dan membangun kepercayaan publik dalam setiap
keputusan fiskal.
Kenaikan
harga BBM bukan hanya urusan kementerian ESDM atau Pertamina. Ia adalah alarm
sosial. Saat rakyat diam karena lelah, negara harus bicara karena sadar. Jangan
tunggu rakyat berteriak baru merasa terganggu.
Catatan
Penulis:
Tulisan
ini adalah suara dari pinggir jalan, dari mereka yang tak punya akses untuk
berbicara langsung pada pengambil kebijakan. Negara tak boleh hanya reaktif
terhadap harga pasar, tapi harus proaktif menjaga daya tahan rakyatnya.
Komentar
Posting Komentar